Setiap Individu adalah pribadi yang unik. Manusia pada hakekatnya adalah kertas kosong yang di bentuk oleh lingkungan mereka. Perilaku manusia merupakan fungsi dari interaksi antara person atau individu dengan lingkungannya. Mereka berperilaku berbeda satu sama lain karena ditentukan oleh masing – masing lingkungan yang memang berbeda.
Secara biografis individu memiliki karakteristik yang jelas bisa terbaca, seperti usia, jenis kelamin, status perkawinan, yang semua itu memiliki hubungan signifikan dengan produktivitas atau kinerja dalam suatu organisasi dan merupakan isu penting dalam dekade mendatang. Dari kajian beberapa bukti riset, memunculkan kesimpulan bahwa usia tampaknya tidak memiliki hubungan dengan produktivitas. Dan para pekerja tua yang masa kerjanya panjang akan lebih kecil kemungkinannya untuk mengundurkan diri. Demikian pula dengan karyawan yang sudah menikah, angka keabsenan menurun, angka pengunduran diri lebih rendah serta menunjukkan kepuasan kerja yang lebih tinggi daripada karyawan yang bujangan.
Setiap individu pun memiliki kemampuan yang berbeda, kemampuan secara langsung mempengaruhi tingkat kinerja dan kepuasan karyawan melalui kesesuaian kemampuan – pekerjaan. Dari sisi pembentukan perilaku dan sifat manusia, perilaku individu akan berbeda di karenakan oleh kemampuan yang dimilikinya juga berbeda. Pembelajaran merupakan bukti dari perubahan perilaku individu. Pembelajaran terjadi setiap saat dan relatif permanen yang terjadi sebagai hasil dari pengalaman.
Meski manusia dapat belajar dan dapat dipengaruhi oleh lingkungan mereka, terlalu sedikit perhatian yang diberikan dalam peran yang di mainkan pada evolusi pembentukan perilaku manusia. Para psikologi evolusioner memberitahu kita bahwa manusia pada dasarnya sudah terbentuk ketika dilahirkan. Kita lahir di dunia ini dengan sifat-sifat yang sudah mendarah daging, diasah, dan diadaptasikan terus selama jutaan tahun, yang membentuk dan membatasi perilaku kita. Psikologi evolusioner menentang pemahaman yang menyatakan bahwa manusia bebas untuk mengubah perilaku jika dilatih atau dimotivasi. Akibatnya, kita menemukan bahwa orang dalam tataran organisasi sering berperilaku dengan cara yang tampaknya tidak bermanfaat bagi diri mereka sendiri atau majikan mereka. Namun B.F. Skinner, dengan bangga menyatakan keyakinannya dalam membentuk perilaku individu dalam lingkungan, “Berikan saya seorang anak pada saat kelahirannya dan saya dapat berbuat seperti apa yang Anda inginkan”.
Globalisasi sudah lama menjadi salah satu topik yang paling sering diperbincangkan dalam bidang politik, ekonomi, dan bisnis. Dalam beberapa tahun terakhir, topik ini juga memasuki wacana akademis dan menjadi fokus diskusi dalam dunia pendidikan. Ada banyak kerancuan dalam pemahaman mengenai globalisasi. Maka dari itu, beberapa tema kunci dalam teori dan pengalaman globalisasi perlu diurai sebagai latar belakang untuk memahami dampak globalisasi pada pendidikan dan arah pendidikan selanjutnya. Digerakkan oleh kekuatan ekonomi dan dipacu komunikasi dan teknologi, globalisasi menghubungkan individu dan istitusi di seluruh dunia dengan tingkat keterkaitan dan kecepatan yang luar biasa. Anthony Giddens menjelaskan globalisasi sebagai intensifikasi relasi sosial di seluruh dunia yang menghubungkan lokalitas yang berjauhan sehingga kejadian-kejadian lokal dibentuk oleh peristiwa-peristiwa yang terjadi di belahan dunia lain. Istilah globalisasi sering digunakan untuk menggambarkan penyebaran dan keterkaitan produksi, komunikasi, dan teknologi di seluruh dunia. Penyebaran ini melibatkan kompleksitas kegiatan ekonomi dan budaya. Secara sempit, sebagian kalangan juga menggunakan istilah globalisasi untuk mengacu upaya-upaya Dana Moneter Internasional (IMF) dan Bank Dunia serta kekuatan-kekuatan lain untuk menciptakan pasar bebas bagi barang dan jasa. Sebetulnya tindakan oleh beberapa kekuatan dunia itu hanya merupakan sarana untuk menunggangi seluruh proses besar globalisasi. Globalisasi mempunyai dimensi ekonomis, politis, kultural, dan sosial. Ada empat tema kunci dalam wacana dan pengalaman globalisasi:
1. Delokalisasi dan lokalisasi
2. Inovasi Teknologi Informasi
3. Kebangkitan Korporasi Multinasional
4. Privatisasi dan Pembentukan Pasar Bebas
Tentu saja dinamika globalisasi mengandung berbagai implikasi bagi pendidikan dan karya pendidikan. Keempat tema kunci dalam wacana dan pengalaman globalisasi juga mulai muncul dalam dunia pendidikan, termasuk di Indonesia. Delokalisasi dan Lokalisasi Satu paradoks dalam proses globalisasi adalah transformasi budaya lokal dalam segala aspek, sebagai akibat interaksi dengan budaya asing dan adopsi unsur-unsur dari budaya asing menjadi bagian budaya lokal. Contoh sederhana, selera makan orang Indonesia sudah banyak berubah. Bagi orang Indonesia usia 50 tahun ke atas yang terbiasa makan nasi pecel, rawon, dan nasi uduk, burger McDonald’s terasa amat asing dan tidak nikmat. Namun bagi anak-anak muda, McDonald’s sudah menjadi makanan favorit. Sebaliknya, McDonald’s pun melakukan upaya lokalisasi produknya sesuai budaya setempat. Khusus untuk Indonesia, McDonald’s menjual paket nasi. Di Singapura, ada paket kiatsu. Dan di China, McDonald’s menyediakan sup hangat dan sumpit. Padahal di negara asalnya, tambahan-tambahan itu tidak ada. Salah satu gejala delokalisasi dalam pendidikan adalah penggunaan bahasa. Di Indonesia, bahasa Inggris resmi diajarkan dalam kurikulum, mulai dari kelas 1 sekolah lanjutan tingkat pertama (SLTP). Untuk jenjang sekolah dasar (SD), bahasa Inggris masuk kurikulum sebagai muatan lokal mulai dari kelas IV. Namun di daerah perkotaan, banyak sekolah mengajarkan bahasa Inggris sejak kelas I SD. Bahkan, taman kanak-kanak (TK) dan kelompok bermain tidak mau ketinggalan mengajarkan bahasa Inggris. Beberapa sekolah “unggulan” mengklaim penggunaan bahasa Inggris sebagai bahasa pengantar dalam sebagian atau keseluruhan proses belajar mengajar. Untuk memenuhi klaim ini, sekolah-sekolah ini sampai harus merekrut guru-guru asing bukan hanya untuk mengajar bahasa Inggris tetapi juga untuk berbagai mata pelajaran lain. Guru-guru asing ini biasanya didatangkan dari Amerika Serikat, Australia, Singapura, Filipina, India, dan negara-negara di Eropa Barat. Belajar bahasa Inggris di SD dan menengah memenuhi tiga tujuan. Pertama, siswa perlu menyiapkan diri agar bisa membaca buku teks dalam bahasa Inggris di perguruan tinggi. Kedua, kemampuan berbahasa Inggris juga masih digunakan sebagai faktor penentu untuk mendapatkan posisi dan imbalan menarik dalam lapangan pekerjaan. Banyak iklan lowongan pekerjaan mencantumkan kemampuan berbahasa Inggris sebagai salah satu persyaratan utama. Ketiga, kemampuan berbahasa Inggris juga digunakan sebagai penanda sosial yang berfungsi sebagai garis pemisah dalam interaksi sosial di antara kelas-kelas ekonomis dan kultural yang berbeda di masyarakat.
Sumber :
http://suryanto-bogor.blogspot.com/2011/11/pengaruh-individu.html
Tidak ada komentar:
Posting Komentar